Senin, 08 Maret 2010

Analisis Jabatan untuk Menyusun Job Description yang Baik

Job description (uraian jabatan) merupakan dokumen formal organisasi yang berisi ringkasan informasi penting mengenai suatu jabatan untuk memudahkan dalam membedakan jabatan yang satu dengan yang lain dalam suatu organisasi. Uraian jabatan tersebut disusun dalam suatu format yang terstruktur sehingga informasi mudah dipahami oleh setiap pihak yang berkaitan di dalam organisasi. Pada hakikatnya, uraian jabatan merupakan bahan baku dasar dalam pengelolaan SDM di organisasi, dimana suatu jabatan dijelaskan dan diberikan batasan.

Informasi dasar dan penting mengenai jabatan ini diperlukan oleh banyak pihak, mulai dari pemegang jabatan (agar ia mengerti apa yang dituntut dari jabatan tersebut), perekrut (agar mengerti orang seperti apa yang sesuai untuk mengisinya), atasan (supaya memahami apa yang ia tuntut dari pekerjaan bawahannya dan menjadi dasar yang objektif untuk mengkomunikasikan ekspektasi organisasi terhadap bawahannya, serta dasar untuk pengukuran kinerja), hingga bagi pengelola pelatihan (agar mengerti kompetensi apa yang perlu dimiliki oleh setiap pemegang jabatan). Penyusunan uraian jabatan harus dilakukan dengan baik agar mudah dimengerti. Untuk itulah diperlukan suatu proses yang terstruktur pula, yang dikenal dengan analisis jabatan.

Analisa jabatan adalah sebuah proses untuk memahami suatu jabatan dan kemudian menyadurnya ke dalam format yang memungkinkan orang lain untuk mengerti tentang jabatan tersebut. Ada 3 tahap penting dalam proses analisis jabatan, yaitu (1) mengumpulkan informasi, (2) menganalisis dan mengelola informasi jabatan, dan (3) menyusun informasi jabatan dalam suatu format yang baku. Analisis jabatan yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan uraian jabatan yang baik pula, dan kemudian dapat dijadikan bahan baku yang baik untuk proses pengelolaan SDM yang lain (evaluasi jabatan, rekrutmen dan seleksi, manajemen kinerja, penyusunan kompetensi, pelatihan). Ada sejumlah prinsip penting yang harus dipegang dalam melakukan proses analisis jabatan.

Pertama, proses analisis dilakukan untuk memahami apa tanggung jawab setiap jabatan dan kontribusi hasil jabatan tersebut terhadap pencapaian hasil atau tujuan organisasi. Dengan analisis ini, maka nantinya uraian jabatan akan menjadi daftar tanggung jawab, bukan daftar tugas atau aktivitas. Kedua, yang dianalisis adalah jabatan, bukan pemegang jabatan yang saat ini kebetulan sedang memangku jabatan tersebut. Ini penting untuk menghindari bias kita menganalisis jabatan berdasarkan kemampuan, kinerja, gaya atau metoda kerja dari pemegang jabatan saat ini. Yang perlu kita analisis adalah standar desain jabatan tersebut berdasarkan struktur organisasi yang ada saat ini. Ketiga, kondisi jabatan yang dianalisis dan akan dituangkan dalam uraian jabatan adalah kondisi jabatan saat ini berdasarkan fakta yang ada sesuai rancangan strategi dan struktur organisasi.

Prinsip-prinsip ini penting untuk dipahami karena sering terjadi di banyak organisasi, uraian jabatan dibuat berdasarkan “selera” masing-masing atasan, atau bahkan diserahkan untuk dibuat oleh pemegang jabatan. Ini membuat tidak adanya standar batasan jabatan yang sebenarnya diinginkan oleh organisasi. Jika hal ini terjadi, maka akan mudah untuk diperkirakan munculnya banyak masalah mengenai tumpang-tindih tanggung jawab antarjabatan, atau rangkap-merangkap tanggung jawab oleh karena ada beberapa tanggung jawab yang ternyata tidak tercakup di jabatan apapun. Juga akan dapat terjadi adanya jabatan yang beban tanggung jawabnya sangat besar/luas, sementara jabatan lain terlihat sangat sempit dan ringan, sehingga tidak ada perimbangan cakupan pekerjaan, yang dapat menimbulkan banyak masalah seperti kecemburuan dan demotivasi.

Format isi uraian jabatan memang bisa sangat bervariasi dari satu organisasi ke organisasi yang lain. Namun, dengan kerangka berpikir bahwa uraian jabatan ini diperlukan sebagai bahan dasar informasi untuk proses pengelolaan SDM yang lainnya, maka dalam format uraian jabatan tersebut sebaiknya tersedia informasi minimum sebagai berikut: identitas jabatan, tujuan jabatan, tanggung jawab utama, indikator kinerja, dimensi/ukuran jabatan, dan spesifikasi jabatan. Di luar itu, organisasi dapat memasukkan juga informasi tambahan lainnya, misalnya kewenangan, tantangan, hubungan kerja, dan struktur organisasi.

Minggu, 07 Maret 2010


Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUTK)


Pengertian Perjanjian Kerja
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUTK) pada prinsipnya telah memberikan defenisi normative mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 UUTK mendefenisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut:
a. Adanya perbuatan hokum/peristiwa hokum berupa perjanjian
b. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang masing-masing membawa kepentingan;
c. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
Peristiwa hokum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu hubungan yang bersifat normative atau saling mengikat. Dalam berbagai teori ilmu hokum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan memungkinkan menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.
Dalam UUTK hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 UUTK yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat keduanya.
Pelaku atau merupakan syarat subjektif untuk pemenuhan keabsahan suatu perjanjian. Dalam konteks ketenagakerjaan, pelaku berkedudukan sebagai pewujud perjanjian kerja. Tanpa pelaku, maka tentunya tidak akan ada perjanjian yang terjadi. Karena secara prinsip pelakulah yang berinisiatif, bertindak dan bertanggungjawab atas dimulainya keterikatan sampai pada berakhirnya keterikatan.
Dalam perjanjian kerja, pelaku dibatasi pada pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja. Demikianlah UUTK menentukan para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja. Para pihak disyaratkan harus memenuhi syarat untuk dapat bertindak sebagai pelaku dalam perjanjian. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 UUTK maka kemampuan dan kecakapan melakukan perbuatan hokum menjadi syarat dan dasar dibuatnya perjanjian kerja. Lebih lanjut mengenai apa yang dimaksudkan dengan “cakap” tidak dijelaskan secara detail dalam UUTK, akan tetapi pada beberapa pasal tertentu terdapat pengaturan yang sangat terkait dengan subjektifitas pelaku perjanjian kerja terkait. Sebagai contoh ketentuan UUTK Pasal 68 dan 69 yang substansinya berbicara mengenai larangan terhadap pengusaha untuk mempekerjakan anak kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai dengan 15 (lima belas) tahun dan itupun terbatas pada pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, social dari anak tersebut. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mempekerjakan anak dimaksud yakni:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Dari uraian contoh penegasan yang tercantum dalam Pasal 68 – 69 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak selalu dianggap belum cakap untuk bertindak sebagai pihak dalam suatu perjanjian.
Pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) membatasi pengertian cakap sebagai berikut:
a. orang-orang yang belum dewasa menurut undang-undang;
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (pengawasan)
c. perempuan-perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu
Hal-hal yang diuraikan diatas merupakan kemutlakan atas suatu perjanjian kerja. Pemenuhan unsure-unsur tersebut dapat sangat berpengaruh secara normative terhadap keabsahan suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja/buruh dan pengusaha

Bentuk dan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Pada prinsipnya perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 angka 1 UUTK maka bentuk tertulis maupun lisan dari suatu perjanjian kerja dimungkinkan untuk dilakukan oleh para pihak yang menjadi pelaku. Meskipun demikian terdapat batasan-batasan yang harus terpenuhi dalam pembuatan perjanjian kerja baik lisan maupun tertulis tersebut.
Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara lisan dan tertulis dengan syarat terpenuhinya syarat-syarat keabsahan perjanjian kerja sebagaimana dicantumkan dalam UUTK. Pasal 53 mensyaratkan beberapa hal untuk absahnya suatu perjanjian kerja sebagai berikut:
a. Kesepakatan kedua belah pihak ;
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ;
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan ; dan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kesepakatan diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan dan hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sepakat (konsensualitas) dalam teori hokum perjanjian merupakan azas yang sangat penting existensinya. Sebab suatu perjanjian belum dapat dikatakan utuh sebagai suatu perjanjian apabila tidak disepakati oleh pihak lainnya. Dengan kata lain subjektifitas perjanjian tersebut belum terpenuhi seutuhnya dan tentunya belum dapat diimplementasikan dan belum berkekuatan hokum. Oleh karena itu perjanjian tersebut belum dapat dianggap sebagai suatu peristiwa hokum yang secara otomatis belum menimbulkan hak dan kewajiban antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Syarat kedua yakni kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hokum memberikan batasan terhadap orang-orang yang belum dapat mengemban tanggungjawab. Sebagai contoh adalah anak-anak atau orang yang belum dewasa dan masih dalam pengawasan atau pengampuan.
Dalam UUTK anak didefenisikan sebagai setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 angka 26). Lebih lanjut ditegaskan larangan untuk mempekerjakan anak ditegaskan dalam Pasal 68 UUTK. Namun terdapat pengecualian untuk anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai 15 (lima belas) tahun dalam hal melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial dari anak tersebut (Pasal 69 ayat 1). Untuk mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud pengusaha diwajibkan untuk memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dilakukan dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu cakap dijabarkan dalam ketentuan KUHPerdata Pasal 1322 sebagaimana dijelaskan pada uraian awal. Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum sangat dilatarbelakangi oleh kemampuan pemenuhan hak dan kewajiban yang disepakati. Terkait dengan kecakapan dalam melakuan perjanjian atau perikatan, dikenal istilah schuld dan haftung. Sebagai 2 (dua) unsur pembentuk kecakapan seseorang, schuld dikenal sebagai tanggung jawab hukum atas pelaksanaan suatu prestasi oleh pihak yang berkewajiban sedangkan haftung didefenisikan sebagai tanggung jawab atas penuntutan prestasi oleh pihak yang berhak.
Anak sebagai subjek tentunya memiliki berbagai keterbatasan dalam bertindak. Selain dari faktor umur yang mewakili berbagai prediksi atas ketidakmampuannya, disisi lain undang-undang keperdataan pada umumnya memang telah menentukan anak sebagai subjek yang tidak cakap dalam melakukan berbagai perbuatan hukum termasuk dalam hukum ketenagakerjaan.
Selanjutnya mengenai keharusan adanya objek yang diperjanjikan. Secara logis kita dapat menyimpulkan bahwa tidak mungkin akan ada kesepakatan apabila tidak ada hal yang disepakati. Dalam perjanjian kerja, yang menjadi substansi kesepakatan adalah pekerjaan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Apabila substansi tersebut tidak dikemukakan maka tentunya tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian kerja.
Pasal 54 UUTK mensyaratkan pemenuhan hal-hal sebagai berikut untuk terpenuhinya keabsahan suatu perjanjian kerja:
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis perusahaan ;
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh ;
c. Jabatan atau jenis pekerjaan ;
d. Tempat pekerjaan ;
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya ;
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh ;
g. Memulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja ;
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Dalam ketentuan tersebut sekurang-kurangnya dapat memberikan interpretasi terhadap setiap orang mengenai objek perjanjian yang dibicarakan.
Syarat terakhir sahnya suatu perjanjian menurut UUTK adalah menyangkut legalitas dari substansi yang diperjanjikan. Legalitas atau keabsahan hal yang diperjanjikan sangat terkait dengan eksistensi perjanjian tersebut. Perjanjian yang substansinya legal, tentunya tidak akan dipersoalkan oleh hukum. Namun bila substansinya ilegal, maka akan dipersoalkan oleh hukum setiap saat. Demikianlah 4 (empat) syarat keabsahan perjanjian kerja yang juga dikenal dalam hukum perjanjian dan perikatan pada umumnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perjanjian kerja dapat buat dalam bentuk tertulis dan lisan. UUTK memberikan batasan-batasan tertentu mengenai pelaksanaan bentuk-bentuk perjanjian kerja sebagai bentuk perlindungan hokum terhadap para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan waktu berlakunya perjanjian, UUTK mengenal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). PKWT dan PKWTT diatur dalam Pasal 56 UUTK dan secara terperinci pelaksanaannya diatur dalam Kepmenakertrans No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah bentuk perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. UUTK maupun Kepmenakertrans memberikan batasan tertentu terhadap pelaksanaan bentuk perjanjian kerja ini. Pasal 59 UUTK membatasi hal-hal tertentu yang dapat diberlakukan dengan PKWT sebagai berikut:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya ;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun ;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai PKWT dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.